Kemampuan modal dan tenaga kerja yang besar memungkinkan China membangun industri manufaktur dan infrastruktur yang besar pula.
Akibatnya, negeri Tirai Bambu itu menguasai dunia dengan ekspor barang-barang manufaktur ke seluruh dunia.
Sementara itu, India menyita perhatian karena mampu mengembangkan bisnis berbasis ilmu pengetahuan berkelas dunia, seperti piranti lunak, jasa teknologi informatika, dan farmasi serta memasok sumber daya manusia terampil.
Di tengah krisis global, kedua negara itu mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia sementara negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan sejumlah negara Asia mengalami pertumbuhan negatif.
Ekonomi China makin meraksasa dengan cadangan devisa negeri menembus 2,27 triliun dolar AS pada akhir September 2009. Bahkan negeri itu menyalip kekuatan ekonomi negara-negara maju, seperti Inggris, Prancis, dan Italia.
India, sebagai negara industri baru yang giat melakukan transformasi ekonomi, kini memiliki cadangan devisa sekitar 200 miliar dolar AS. Bandingkan dengan cadangan ekonomi Amerika Serikat yang 72,5 miliar dolar AS, dan Inggris sebesar 71,1 miliar dolar AS.
Peneliti Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Indonesia Nugroho Purwantoro mengatakan, China dan India menjelma sebagai magnet terkuat dalam menarik investasi, menciptakan perusahaan-perusahaan lokal terkemuka, sekaligus menjadi pemain di pasar internasional.
Menurut Nugroho, meskipun sama-sama terus melakukan transformasi ekonomi, namun pendekatan yang digunakan China dan India cenderung berbeda.
Campur tangan pemerintah China lebih besar dalam kegiatan ekonomi dibanding India. China melakukan investasi besar-besaran pada infrastruktur fisik, sebaliknya sejak pertengahan 1980 pemerintah India mengurangi intervensi pada dunia bisnis.
"Dari sisi penanaman modal, China antusias menerima investasi asing sementara India cenderung curiga terhadap investasi asing sehingga pertumbuhan ekonomi lebih didorong tingginya permintaan domestik," kata Nugroho.
Jika China berhasil mendominasi ekspor barang manufaktur dunia, dan produksi mesin, India --dengan revolusi teknologi informasi yang digulirkan sejak 1999-- kini menjadi basis produksi piranti lunak dan produk teknologi informasi untuk pasar Amerika Serikat, Eropa, dan Asia.
Muncul perdebatan, apakah suatu perusahaan harus fokus ke pasar China atau India terlebih setelah kedua negara itu bermitra dagang (bilateral) dengan nilai perdagangan mencapai 225 miliar dolar, atau setara dengan nilai perdagangan antara China dengan AS pada tahun 2006.
"Saat keduanya semakin menyatu, akan sulit bagi orang lain untuk dapat dengan mudah masuk ke dalamnya," kata Nugroho.
Lantas apa dampak dari menguatnya ekonomi kedua negara tersebut terhadap perekonomian Indonesia? Bagaimana strategi pemerintah dan pengusaha Indonesia menghadapi China dan India?
Dengan China, neraca perdagangan ekspor nonmigas Indonesia defisit, artinya Indonesia mengimpor lebih banyak ketimbang ekspor ke China.
Total perdagangan Indonesia dengan China periode Mei 2009, mencapai 9,2 miliar dolar AS. Ekspor Indonesia ke China 4,3 miliar dolar sementara impor dari China mencapai 4,9 miliar dolar AS.
Sementara itu, perdagangan Indonesia dengan India saat ini tercatat surplus dengan total perdagangan 6,5 miliar dolar AS.
Manfaatkan potensi
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, Indonesia harus memanfaatkan potensi pasar China dan India yang sangat besar dengan memasok produk berbasis manufaktur.
"Memanfaatkan pasar domestik China dan India dengan ekspor produk berbasis manufaktur, diharapkan dapat mendorong neraca perdagangan Indonesia dengan dua negara itu," kata Mari.
Selama ini ekspor Indonesia ke China dan India masih berbasis pada sumber alam, seperti gas, batubara, produk baja, karet, aluminium, dan bahan baku penolong lainnya.
Dengan potensi pasar yang besar di kedua negara itu, diharapkan Indonesia dapat meningkatkan peluang dengan memasok produk-produk barang setengah jadi, selain juga tetap mempertahankan ekspor berbasis sumber daya alam.
Selain memiliki penduduk yang besar atau masuk dalam tiga besar di dunia, China, India, dan Indonesia juga menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia saat krisis global masih berlangsung.
Menurut catatan, pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2009 diperkirakan mencapai delapan persen, India pada tahun ini diperkirakan mencapai 6,5 persen, sedangkan ekonomi Indonesia diperkirakan akan melewati enam persen pada 2011 dan 2012.
Mari berpendapat, Indonesia setidaknya menetapkan tiga strategi menghadapi China dan India, yaitu menjadikan kedua negara itu sebagai pasar dan peluang investasi, kedua bersaing dalam perekonomian, dan ke tiga melakukan sinergi.
Keuntungan strategis yang bisa diperoleh Indonesia dari eksistensi bisnis China dan India, yaitu pada skala bisnis, kekuatan yang saling menunjang, alih pengetahuan, dan mengurangi risiko.
Mari meyakini, Indonesia sangat mungkin bersaing dengan China dan India karena Indonesia memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang potensial untuk dikembangkan.
Menurut catatan Laporan Standard Chartered Bank berjudul "Indonesia, Bangkitnya Sumber Pertumbuhan Ekonomi Asia", tiga kategori negara yang mampu memenangkan transformasi bisnis, yaitu memiliki sumber-sumber keuangan, memiliki sumber daya energi dan komoditas, dan mampu beradaptasi dan berubah.
Ekonom Senior StanChart Indonesia Fauzi Ichsan mengakui, Indonesia belum memiliki sumber-sumber keuangan yang memadai, sehingga menjadi tantangan bagaimana menarik investasi asing untuk mengolah potensi ekonomi.
Bisa jadi, banyak kalangan ragu bahwa Indonesia dapat menjaring investor dan mengolah potensi ekonomi. Akan tetapi, stabilitas politik, perbaikan iklim usaha, dan keseriusan memberantas korupsi diharapkan dapat meningkatkan persepsi investor terhadap Indonesia.
Perbaikan iklim usaha di dalam negeri mutlak diperlukan, sejalan dengan perkembangan kawasan Asia Tenggara yang mendorong perdagangan antar regional dan menarik arus investasi masuk.
Dari sisi skala ekonomi, Indonesia cukup besar karena memiliki jumlah penduduk 228 juta orang atau negara dengan populasi terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat.
Untuk itu Indonesia harus memanfaatkan sektor yang tidak dimiliki kedua negara itu, yaitu sumber daya alam melimpah dan di ekonomi bidang kreatif, selain juga keunggulan sektor pariwisata Indonesia.
Setidaknya, wisatawan China yang berkunjung ke luar negeri setiap tahun bisa mencapai 25 juta orang. ini menjadi potensi yang dapat digarap untuk berkunjung ke Indonesia.(*)
0 komentar:
Posting Komentar