Kamis, 21 April 2011

Penyebab Hancurnya Industri Maritim Indonesia


Penyebab Hancurnya Industri Maritim Indonesia

Transformasi teknologi kapal TNI AL buatan PAL

 Jakarta - Indonesia sebagai salah satu negara maritim besar seharusnya mempunyai infrastruktur ke maritiman yang kuat, seperti, pelabuhan yang lengkap terkait dengan keperuntukannya, sumber daya manusia yang berkelas, berbagai jenis kapal yang berkelas di berbagai sektor termasuk armada TNI Angkatan Laut, armada kapal dagang/kontainer, armada kapal angkut migas dan batubara, armada kapal penangkap ikan, armada kapal penumpang yang modern, aman dan nyaman serta regulator sektor kemaritiman yang kuat dan disegani dunia internasional.

Namun apa mau dikata, tampaknya pernyataan diatas masih sebatas mimpi, belum kenyataan. Melihat perkembangan industri maritim di Indonesia saat ini, saya sedih dan gemas. Bagaimana tidak? Sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai hari ini industri martim kita dikelola secara kaki lima. Akibatnya tidak ada satupun Negaradi dunia ini yang segan dan menghormati Indonesia sebagai salah satu Negara maritimyang kuat.

Offshore Patrol Vessel/ FPB-60
Mereka hanya menempatkan Indonesia sebagai Negara tempat memasarkan produk kemaritiman mereka dan mengambil sumber daya yang ada. Mau bukti? Mari kita bahas satu persatu yang menurut saya ini merupakan faktor utama hancurnya industri maritim nasional. Sementara pemerintah tak mampu membereskannya, seperti biasa tidakada ketegasan!

Faktor Hambatan di Industri Maritim Nasional

Pertama, mari kita lihat sistem finansial untuk sektor maritim di Indonesia. Kebijakan sektor perbankan atau lembaga keuangan di Indonesia, yang sebagian besar keuntungannya diperoleh dari penempatan dana mereka di Sertifikat Bank Indonesia (SBI), untuk pembiayaan industri maritim sangat tidak mendukung. Mengapa?

Pertama, bunga pinjaman sangat tinggi. Berkisar antara 11% - 12% per tahun dengan 100% kolateral (senilai pinjaman). Bandingkan dengan sistem perbankan Singapura yang hanya mengenakan bunga 2% + LIBOR 2% (total sekitar 4%) per tahun. Dengan equity hanya 25% sudah bisa mendapatkan pinjaman tanpa kolateral terpisah karena kapal itu sendiri bisa menjadi jaminannya. Jadi tidak heran kalau pengusaha kapal nasional kesulitan mencari pembiayaan untuk membeli kapal, baik baru maupun bekas melalui sistem perbankan Indonesia.

Kedua,sesuai dengan Kepmenkeu No 370/KMK.03/2003  tetang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan Atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu, pasal 1, ayat 1 huruf e, jelas bahwa sektor perkapalan mendapat pembebasan pajak. Namun semua pembebasan pajak itu kembali harus dibayar jika melanggar pasal 16. Artinya kebijakan tersebut banci. Apa isi pasal 16?

Sesuai dengan pasal 16: Pajak Pertambahan Nilai yang terutang pada impor atau pada saat perolehan Barang Kena Pajak Tertentu disetor kas negara apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak impor dan atau perolehan Barang Kena Pajak Tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 huruf e, huruf f, huruf g dan huruf h ternyata digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau di pindahtangankan

kepada pihak lain baik sebagian atau seluruhnya?. Artinya, jika pengusaha kapal akan menjual kapalnya sebelum 5 tahun sejak pembelian harus membayar pajak kepada negara sebesar 22,5% dari harga penjualan (PPn 10%, PPh impor 7,5% dan bea masuk 5%).

Di Indonesia jarang ada kontrak penggunaan kapal lebih dari 5 tahun, paling banyak 2 tahun. Jadi jika tidak ada kontrak, supaya pengusaha kapal tidak menanggung rugi berkepanjangan mereka harus menjual kapalnya. Untuk itu pengusaha harus membayar pajak terhutang kepada Negara sesuai Pasal 16 tersebut. Benar-benar industri maritim negara ini dihambat kemajuannya dari segi kebijakan fiskalnya oleh negara, kok bisa ya?

Di negara lain seperti Singapura, pemerintah akan memberikan insentif, seperti pembebasan  bea masuk pembelian kapal, pembebasan pajak bagi perusahaan pelayaran yang bertransaksi diatas USD 20 juta karena Pemerintah Singapura menyadari kalau investasi di industri pelayaran bersifat slow yielding sehingga perlu diberikan insentif. Kalaupun kapal harus dijual, Pemerintah Singapura membebaskan berbagai pajaknya.

Dari pemberian berbagai insentif bagi perusahaan pelayaran, Pemerintah mana pun akan berpikiran bahwa penerimaan dari pajak mungkin akan menurun namun penerimaan dari sektor lain pasti akan bertambah. Misalnya, semakin banyak tenaga kerja asing tinggal dan bekerja pada akhirnya akan semakin banyak uang yang dibelanjakan di negara tersebut. Selain itu  transaksi perbankan biasanya juga akan semakin banyak, sehingga pendapatan Negara juga akan meningkat. Benar-benar negara negara dikelola oleh negarawan yang cerdas.

Ketiga, buruknya kualitas sumber daya maritim Indonesia menyebabkan biaya langsung industri maritim menjadi tinggi. Meski pun gaji tenaga Indonesia 1/3 gaji tenaga kerja asing tetapi karena rendahnya disiplin dan tanggungjawab, menyebabkan biaya yang harus ditanggung pemilik kapal berbendera dan berawak 100% orang Indonesia (sesuai dengan UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran) menjadi sangat tinggi. Ironisnya jika kapal berawak 100% asing yang mahal, ternyata pendapatan perusahaan pelayaran bisa meningkat 2x lipat. Aneh tapi nyata.

Keempat, persoalan klasifikasi industri maritim yang ada di tangan sebuah BUMN dibawah kendali Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan, PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), membuat industri maritim Indonesia semakin terpuruk. Semua kapal yang diklasifikasi atau disertifikasi oleh PT BKI, patut diduga tidak diakui oleh asuransi perkapalan kelas dunia atau kalaupun diakui, pemilik kapal harus membayar premi asuransi sangat mahal. Mengapa?

Hal tersebut patut diduga disebabkan dalam melakukan klasifikasi, PT BKI kurang profesional sehingga penilaiannya diragukan oleh semua pihak. Patut diduga PT BKI masih menganut paham dengan uang pelicin semua beres. Oleh sebab itu sebagian pemilik kapal tidak meregister kapalnya di Indonesia tetapi di Hong Kong, Malaysia atau Singapore. Akibatnya pelaksanaan UU No 17 tahun 2008 hanya retorika. Pengusaha kapal enggan meregister kapalnya di Indonesia karena klasifikasi yang dikeluarkan oleh PT BKI merupakan 'pepesan kosong' yang diragukan oleh semua lini sektor industri maritim global.

Langkah yang Harus Diambil Pemerintah

Jika industri maritim Indonesia mau berkembang dan siap bersaing dengan industri sejenis dikawasan, maka pemerintah dalam hal ini khususnya Kementerian Perhubungan, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan harus membuka mata dan jangan mau dipengaruhi oleh para pelobi yang mewakili pihak-pihak yang mau untung sendiri tidak memikirkan bangsa ini.

Pertama, lakukan revitalisasi atau deregulasi di sektor fiskal sehingga kompetitif dengan beberapa Negara tetangga, kecuali Indonesia mau jadi pecundang terus. Kedua lakukan perombakan total dilingkungan lembaga pemberi klasifikasi sehingga dunia internasional pelayaran dan asuransi kerugian mengakui keberadaannya. Ketiga susun ulang kurikulum lembaga pendidikan maritim oleh Kemendiknas supaya Indonesia mempunyai SDM maritim yang berkualitas dan bertanggungjawab.

Beranikah Menteri Keuangan, Menteri Perhubungan, Menteri BUMN dan Menteri Pendidikan Nasional melakukan perubahan drastis tersebut? Sebenarnya saya ragu karena para menteri tidak berani bertindak (kecuali sidak) jika presiden belum memberikan titah. Jadi mohon kepada Presiden SBY yang sangat saya hormati untuk segera memberikan titah kepada keempat Menteri tersebut secepatnya, sebelum industri maritim Indonesia tinggal nama. Salam.

*) Agus Pambagio adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen.

0 komentar:

Posting Komentar